“ IJINKAN AKU TUK
TERUS MENCINTAIMU...”
Fajar
telah berlalu. Senja mendekat. Matahari terkubur, rembulan pun kembali dari
peraduannya. Di bawah guyuran hujan senja hari, seorang gadis cantik
mengumpulkan pakaiannya dari kepungan hujan. Di sekitarnya tampak begitu
asyiknya sekumpulan anak kecil bertelanjang dada yang berteriak kegirangan
sambil bermain – main dengan sang hujan. Sudah hampir seminggu hujan tak pernah
berhenti mengguyur sebuah kampung tua di atas bukit itu. Sudah hampir seminggu
pula aktivitas di kampung itu berhenti total. Tak terkecuali Adelia, seorang gadis
desa yang selalu diagung – agungkan
seluruh kaum lelaki di kampung itu. Ia sungguh luar biasa. dengan rambut
hitamnya yang terurai sampai ke pinggang, Adelia berhasil membelenggu sekian
banyak hati lelaki. Matanya yang berbinar kecoklatan serta senyuman kecil yang
ia kulum tipis di sudut bibir mungilnya itu semakin menambah keagungan
pesonanya. Siapa saja pasti mengenal Adelia. Kecantikkannya sungguh telah bermekaran
di seisi kampung tua itu dan juga di seluruh hati kaum lelaki. Di kampung tua
itu, Adelia dikenal sebagai gadis yang baik dan ramah serta selalu rela
menolong orang lain. Sebagai seorang perawat di PUSKESDES di kampung tua itu,
ia selalu memperhatikan orang – orang susah. Maka tak heran kalau kecantikkan
dan kebaikkan hatinya telah menyebar di seisi kampung tua itu.
Seperti biasa, pagi – pagi sekali Adelia sudah berangkat
dari rumah menuju tempat kerjanya. ia pergi pagi – pagi sekali ketika fajar
masih remang – remang dan ketika aktifitas kampung itu belum sibuk. Dengan
pakaian putihnya yang rapi disetrika, ia menyusuri jalanan sembari membahukan
tas kecil berwarna hitam yang selalu ia bawa ketika hendak ke tempat kerjanya. Di
sepanjang perjalanannya, ia tak kunjung hentinya memberi salam hangat dan
sunggingan senyum kecil kepada setiap
orang yang ia jumpai. Begitulah seterusnya sampai ia tiba di tempat kerjanya.
ketika telah sampai, dilihatnya sekumpulan orang sudah menunggunya. Meski
demikian ia tak terhenyak sedikit pun karena sudah menjadi hal yang biasa
baginya. Sekali lagi dengan senyuman Adelia menyapa mereka dan dengan tenang
pula ia menurunkan tas hitam kecilnya itu, membukanya, mengambil sebuah kunci
dan kemudian membukakan pintu. Ketika ia telah mendapati meja kerjanya,
ia mulai mempersilahkan satu per satu
pasiennya masuk dan mulailah ia merawat mereka dengan penuh kasih sayang. Tak
pernah ada keluhan yang keluar dari mulutnya meskipun ia telah merasa lelah dan
keringat mengucur di sekitar wajahnya.
Hari mulai siang dan pasiennya semakin bertambah. Dari
sekian pasien wanita, ada pula seorang lelaki. Lelaki itu tampak kesakitan
dengan raut muka yang sedikit memerah. Sesekali ia tertunduk lesu dan terlihat
menarik nafas
dalam – dalam dan
mendesiskannya dengan sedikit suara. Setelah cukup lama menunggu, maka tibalah
gilirannya. Begitu lelaki itu masuk, keduanya tiba – tiba saja terdiam terpaku
dan saling terpana ketika mata mereka beradu pandang. Saat itu semesta jadi
hening. Bening. Tak ada kata – kata yang tercipta. Hanyalah detak jantung yang
tumpah berkelana mengisi ruangan itu. Adelia celingak – celinguk. Mengusap
rambut hitamnya lalu dengan sedikit gugup mempersilahkan lelaki itu duduk.
“ A....aa....aaa...
siapa namamu ? “ tanya Adelia sembari merogoh bolpoint dari saku bajunya dan
mulai menulis apa yang diucapkan oleh lelaki itu.
“ Anima. “ Jawab lelaki
itu datar.
“ Kamu tampaknya sedang
sakit ? coba sampaikan keluhanmu padaku. Aku akan membantumu. “ ungkap Adelia
dengan nada lembut.
“ Ya. Aku memang sakit.
Begini bu perawat. Semenjak kecil aku sudah menderita penyakit jantung.
Penyakit inilah yang kadang – kadang kambuh dan membuatku tersiksa. Saat ini dadaku terasa sakit, kepalaku mau
pecah saja rasanya. Tolong bantu aku bu perawat. “ ucap lelaki itu agak lirih.
“ Baiklah. Penyakitmu
itu bisa membahayakan dirimu. Kamu harus cepat – cepat ditangani. Kalu begitu
aku harus memeriksamu terlebih dahulu. “
Adelia beranjak dari
meja kerjanya, menggeser kursi dengan perlahan lalu menuntun lelaki itu ke tempat
tidur. Ia lalu menyuruhnya berbaring. Dengan tangan kanannya, ia meraih
stetoskop yang berada di atas meja kecil di sampingnya.
“ Maaf ya. Tolong buka bajumu sedikit. “ pinta Adelia dengan penuh hormat dan sangat
hati – hati. Ia terhenyak ketika melihat Rosario hitam yang melilit di leher
lelaki itu. Sambil terus memeriksanya, Adelia bertanya padanya.
“ Kamu juga orang Katolik
ya ? “
“ Ya, benar. Tapi dari
mana kamu tahu ? Apa kamu juga gadis katolik ? “ lelaki itu menimpalinya.
“ Aku tahu karena aku
melihat Rosario yang ada di lehermu itu dan aku juga seorang Katolik. Tapi
kayaknya kamu orang baru di sini. Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Dari
mana kamu datang ? “
Lelaki itu bangkit dari pembaringannya lalu menjawab
Adelia.
“ Ya, kamu benar. Aku
orang baru di sini. Baru kemarin aku datang dari kota ke kampung ini demi satu
tugas yang sangat penting. Terima kasih karena kamu telah menolongku. “ lelaki
itu menyunggingkan senyuman kecil pada Adelia dan Adelia membalasnya.
Mereka berdua terus berbincang – bincang, saling bertanya
dan setidaknya mulai timbul keakraban di antara mereka. Adelia tampak begitu
bersemangat dan ceria. Tak disangka, rupanya Adelia telah menyimpan rasa untuk
lelaki itu. Namun Adelia terpaksa harus memendam perasaannya itu karena ia
belum tahu betul siapa lelaki itu. Perbincangan mereka berdua terpaksa harus
disudahi oleh tangisan seorang gadis
kecil berambut ikal yang berusaha menghampiri Adelia. Wajah kecilnya
berlinangan air mata. Adelia beralih dan merangkul gadis kecil itu. Dengan
jemarinya yang lembut ia meyeka derai air mata yang tak kunjung henti mengalir
dari kelopak mata gadis kecil itu. Dengan sentuhannya, tangisan gadis kecil itu
mulai mereda. Adelia tersenyum lega melihatnya dan mengecup kening gadis itu.
Sementara itu, lelaki tadi masih berdiri tidak jauh dari mereka, menyaksikan
adegan penuh haru itu. Melihat kebijaksanaan hati Adelia, lelaki itu berdecak
kagum dalam hatinya. Dalam hatinya lelaki itu menghaturkan selaksa pujian. Sungguh
mulia hatinya. Kecantikkannya tidak hanya terpancar dalam wajahnya saja tetapi
juga terpancar dari kedalaman hatinya yang penuh cinta. Amat beruntunglah
lelaki yang bisa merebut hatinya. Lihat saja, ia amat menyayangi gadis kecil yang malang
itu. Adelia...Adelia... aku senang bisa berkenalan dengan gadis secantik dan
sebaik kamu.
Semenjak awal pertemuan Adelia dengan lelaki itu,
ternyata secara diam – diam Adelia telah menyimpan perasaan cinta terhadapnya.
Adelia selalu gelisah bila mengingat wajahnya. Betapa pertemuan itu membawa
daya cinta yang maha sejati bagi Adelia. Karena cintanya akan lelaki itu, di
sela – sela kesibukkannya Adelia berusaha mencari tahu tentang lelaki itu.
Pencariannya akan lelaki itu akhirnya mendapat titik terang. Ia mendapat
informasi yang cukup jelas tentang siapa sebenarnya lelaki yang ia kagumi dan
cintai dalam hatinya itu. Dari orang – orang di seputar kampung itu, Adelia
tahu bahwa lelaki itu bukanlah seorang awam biasa. lelaki itu ternyata adalah
seorang Frater yang sedang menjalankan tugas pastoral di paroki tempat
tinggalnya. Mendengar hal ini, tentu Adelia seolah tak percaya. Jantungnya
berdegup cepat, tetes keringat mengalir tanpa permisi di wajahnya yang memucat.
Sementara ingatannya kembali menghadirkan kisah dimana ia bertemu dengan lelaki
itu. Sosok lelaki itu datang silih berganti,
mondar – mandir mengisi pikirannya. Untuk sejenak
Adelia terdiam terpaku. Dalam hatinya ia bergumam. Ahh... ternyata Anima adalah
seorang Frater. Tapi mengapa ia tidak memberitahuku kalau ia seorang Frater ?
Takutkah ia membeberkan statusnya itu ? Aku merasa berdosa sekali karena baru
mengetahui yang sebenarnya tentang dia.
Jujur saja, aku telah merasakan yang namanya jatuh cinta. Tapi kali ini aku
betul – betul gila karena aku terlanjur jatuh cinta dengan seorang Frater.
Aahhh.......
Adelia menepis pikirannya jauh – jauh dan segera kembali ke rumahnya. Keesokkan
harinya Adelia berusaha menemui lelaki itu di tempatnya. Dengan rambut yang
dibiarkan terurai tak diikat, ia berjalan menyusuri jalanan menuju tujuannya.
Tekadnya sudah bulat yakni ingin menemui lelaki itu dan mengutarakan cintanya.
Dari kejauhan ia melihat sosok lelaki itu tengah mengenakan jubah putih sedang
berdiri di sebuah taman. Adelia pun terus mendekat. Dengan tangan kanannya ia
meraih tangan lelaki itu dari belakang sambil mengucap lirih nama lelaki itu.
“ Anima... “
Lelaki itu terhenyak
dan segera membalikkan tubuhnya. Amat terkejutlah lelaki itu karena sosok yang berada
di hadapannya itu adalah Adelia, seorang perawat cantik yang pernah
menolongnya. Dengan sedikit gugup lelaki itu berusaha melepaskan tangannya dari
genggaman Adelia.
“ Ada apa Adelia ? Mengapa
kamu datang ke sini ?
Dengan berani Adelia
menggenggam kedua tangan lelaki itu lalu dengan mata berkaca – kaca, ia
menumpahkan seluruh perasaannya yang selama ini ia pendam.
“
Anima...
mengapa sejak awal kita bertemu, kamu tidak memberitahuku kalau kamu itu
seorang Frater ? saat ini di hadapanmu, aku mau jujur padamu. Biarkanlah jubah
putih yang kamu kenakan sekarang ini menjadi saksi atas perasaanku ini.
Anima... belakangan ini
aku amat gelisah dan tersiksa. Namun kegelisahan dan siksaan yang kurasa itu
sungguh indah. Kamu tahu ?
Aku jatuh cinta. Aku
jatuh cinta padamu Anima. Sungguh aneh karena kita baru saja bertemu, tetapi
luar biasanya karena cinta di ladang hatiku telah bermekaran walau benih baru
ditabur. Anima... apakah aku bodoh bila mencintaimu ? apakah aku berdosa bila memilikimu
? Salahkah aku bila jatuh cinta dengan seorang Frater sepertimu ?
Menyebut namamu saja
menghadirkan sejuta kemilau di hatiku. Menatap dirimu saat ini adalah satu
surga bagi kerinduan jiwaku. Kehadiranmu dalam ingatanku amat menggelisahkan
aku. Apakah ini yang disebut cinta ?
Jawab Anima...
Jawab...!!!
padahal belum lama aku
mengenalmu. Meskipun begitu, aku tak pernah marah sedikit pun dengan waktu yang
tak banyak memberiku kesempatan. Sekarang, terserah padamu mau menilaiku apa.
Memang benar cinta itu gila dan buta. Saking gilanya, aku tergila – gila
denganmu. Saking butanya, aku tak melihat bahwa yang kucintai ini adalah
seorang Frater. Mungkin juga kamu akan bilang cintaku ini abnormal. Mencintai
seseorang yang mengabdikan diri, hidup dan cintanya hanya untuk Tuhan semata.
Maafkan aku bila aku
terlalu polos dan jujur di hadapanmu.
Maafkan aku karena aku
terlalu berani mengatakan cinta padamu.
Meski kamu tak menerima
cintaku, tolong ijinkan aku untuk terus mencintaimu, Fraterku sayang....
“
Dengan segera Adelia segera membalikkan tubuhnya dan
menumpahkan seluruh perasaannya. Adelia berusaha menepiskan wajahnya dari
kerumunan air mata yang membasahi kedua kelopak matanya. Ia berusaha untuk
tetap tegar di hadapan Anima yang dicintainya itu. Dan untuk sesaat Adelia
membiarkan rinai air matanya gugur dan membasahi hati dan seluruh jiwanya. Semesta
pun hening. Bening. Hanyalah dedaunan di taman itu yang terus menjatuhkan diri
ke atas bunga – bunga taman dan seluruh penghuni taman itu.
Semesta terhenyak kala Anima meraih tangan Adelia.
Menyentuhnya dengan penuh kelembutan. Lalu mengusap pergi kerumunan air mata
yang mengepung sepasang mata indah itu dengan jemarinya.
Tanpa sepenggal ucapan pun Anima langsung mendekap Adelia
penuh kemesraan. Bersama dengan pelukan erat itu, Anima berbisik lirih ;
“Adelia…jujur saja
kalau sudah sejak awal ketika kita bertemu, aku juga merasakan hal serupa sama
seperti yang kau rasakan kini.
Adelia…aku sungguh
telah terperangkap dalam tatapan nanar matamu yang kecokelatan itu. Aku juga
telah terbelenggu oleh derai rambut hitammu yang panjang itu. Bahkan di setiap
tatapanku kehilangan arah darimu, aku menjadi gelisah dan tak menentu.
Terima kasih untuk
perasaan cintamu yang suci ini… Terima kasih untuk mata cokelatmu yang selalu
membuatku merasakan cinta yang kuat dan kokoh dalam setiap tatapanmu…
Terima kasih untuk
kebaikan dan ketulusan hatimu yang telah mengajarkan aku untuk selalu bersikap
rendah hati…
Terima kasih untuk
senyuman yang selalu kau sematkan untukku, dan dengan itu kupercaya bahwa
kaulah warna yang hilang dalam lukisan hatiku…
Dan kini…ingin
kubingkai semua perasaanku dalam ciuman suci
ini Adelia…”
Anima melepaskan pelukannya lalu mencium kening
Adelia penuh cinta. Ia tersenyum dan
kembali mengucapkan sesuatu.
“Maafkan aku Adelia…
Aku tak bisa bersamamu
untuk selamanya.
Aku tak bisa untuk
terus mencintaimu dengan statusku sebagai Frater...
Kuakui bahwa aku juga
mencintaimu. Sangat mencintaimu. Tapi kuingin kau mengerti bahwa cinta itu tak
selalu harus memiliki. Adelia, kau dan aku memang dilahirkan untuk saling
mencintai. Tapi kita tak pernah ditakdirkan untuk bersama.
Biarlah perasaan sucimu
ini kusimpan dalam hatiku.
Sekali lagi aku juga
mencintaimu Adelia…
Tapi maafkan aku…”
Anima melepaskan pelukannya. Ia berlari menjauhi
sosok cantik yang dicintainya. Sosok penuh kelembutan yang mungkin tak akan
pernah dijumpainya lagi setelah saat itu. Sementara Adelia terpaku membisu
membiarkan tangisannya mengiringi kepergian Anima.
Di akhir kisah suci ini, Adelia terus berkata lirih
ditemani tangisan yang semakin menjadi – jadi ;
“Tapi ijinkan aku ‘tuk
terus mencintaimu Fraterku sayang…”
Anima pun berlalu. Adelia bergegas membagi arah.
Anima pergi entah kemana.
Sementara di ruang rindu, Adelia terus mencintainya.
Tak peduli apapun.***
…_medio januari_...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar