Profil Maurice Morghan Nikmat

Jumat, 20 Mei 2016

CERPEN - Ijinkan Aku Tuk Terus Mencintaimu

“ IJINKAN AKU TUK TERUS MENCINTAIMU...”
Fajar telah berlalu. Senja mendekat. Matahari terkubur, rembulan pun kembali dari peraduannya. Di bawah guyuran hujan senja hari, seorang gadis cantik mengumpulkan pakaiannya dari kepungan hujan. Di sekitarnya tampak begitu asyiknya sekumpulan anak kecil bertelanjang dada yang berteriak kegirangan sambil bermain – main dengan sang hujan. Sudah hampir seminggu hujan tak pernah berhenti mengguyur sebuah kampung tua di atas bukit itu. Sudah hampir seminggu pula aktivitas di kampung itu berhenti total. Tak terkecuali Adelia, seorang gadis desa yang selalu diagung – agungkan  seluruh kaum lelaki di kampung itu. Ia sungguh luar biasa. dengan rambut hitamnya yang terurai sampai ke pinggang, Adelia berhasil membelenggu sekian banyak hati lelaki. Matanya yang berbinar kecoklatan serta senyuman kecil yang ia kulum tipis di sudut bibir mungilnya itu semakin menambah keagungan pesonanya. Siapa saja pasti mengenal Adelia. Kecantikkannya sungguh telah bermekaran di seisi kampung tua itu dan juga di seluruh hati kaum lelaki. Di kampung tua itu, Adelia dikenal sebagai gadis yang baik dan ramah serta selalu rela menolong orang lain. Sebagai seorang perawat di PUSKESDES di kampung tua itu, ia selalu memperhatikan orang – orang susah. Maka tak heran kalau kecantikkan dan kebaikkan hatinya telah menyebar di seisi kampung tua itu.
            Seperti biasa, pagi – pagi sekali Adelia sudah berangkat dari rumah menuju tempat kerjanya. ia pergi pagi – pagi sekali ketika fajar masih remang – remang dan ketika aktifitas kampung itu belum sibuk. Dengan pakaian putihnya yang rapi disetrika, ia menyusuri jalanan sembari membahukan tas kecil berwarna hitam yang selalu ia bawa ketika hendak ke tempat kerjanya. Di sepanjang perjalanannya, ia tak kunjung hentinya memberi salam hangat dan sunggingan senyum kecil  kepada setiap orang yang ia jumpai. Begitulah seterusnya sampai ia tiba di tempat kerjanya. ketika telah sampai, dilihatnya sekumpulan orang sudah menunggunya. Meski demikian ia tak terhenyak sedikit pun karena sudah menjadi hal yang biasa baginya. Sekali lagi dengan senyuman Adelia menyapa mereka dan dengan tenang pula ia menurunkan tas hitam kecilnya itu, membukanya, mengambil sebuah kunci dan kemudian membukakan pintu. Ketika ia telah mendapati meja kerjanya,
 ia mulai mempersilahkan satu per satu pasiennya masuk dan mulailah ia merawat mereka dengan penuh kasih sayang. Tak pernah ada keluhan yang keluar dari mulutnya meskipun ia telah merasa lelah dan keringat mengucur di sekitar wajahnya.
            Hari mulai siang dan pasiennya semakin bertambah. Dari sekian pasien wanita, ada pula seorang lelaki. Lelaki itu tampak kesakitan dengan raut muka yang sedikit memerah. Sesekali ia tertunduk lesu dan terlihat menarik nafas
dalam – dalam dan mendesiskannya dengan sedikit suara. Setelah cukup lama menunggu, maka tibalah gilirannya. Begitu lelaki itu masuk, keduanya tiba – tiba saja terdiam terpaku dan saling terpana ketika mata mereka beradu pandang. Saat itu semesta jadi hening. Bening. Tak ada kata – kata yang tercipta. Hanyalah detak jantung yang tumpah berkelana mengisi ruangan itu. Adelia celingak – celinguk. Mengusap rambut hitamnya lalu dengan sedikit gugup mempersilahkan  lelaki itu duduk.
“ A....aa....aaa... siapa namamu ? “ tanya Adelia sembari merogoh bolpoint dari saku bajunya dan mulai menulis apa yang diucapkan oleh lelaki itu.
“ Anima. “ Jawab lelaki itu datar.
“ Kamu tampaknya sedang sakit ? coba sampaikan keluhanmu padaku. Aku akan membantumu. “ ungkap Adelia dengan nada lembut.
“ Ya. Aku memang sakit. Begini bu perawat. Semenjak kecil aku sudah menderita penyakit jantung. Penyakit inilah yang kadang – kadang kambuh dan membuatku tersiksa.  Saat ini dadaku terasa sakit, kepalaku mau pecah saja rasanya. Tolong bantu aku bu perawat. “ ucap lelaki itu agak lirih.
“ Baiklah. Penyakitmu itu bisa membahayakan dirimu. Kamu harus cepat – cepat ditangani. Kalu begitu aku harus memeriksamu terlebih dahulu. “
Adelia beranjak dari meja kerjanya, menggeser kursi dengan perlahan lalu menuntun lelaki itu ke tempat tidur. Ia lalu menyuruhnya berbaring. Dengan tangan kanannya, ia meraih stetoskop yang berada di atas meja kecil di sampingnya.
“ Maaf  ya. Tolong buka bajumu sedikit. “  pinta Adelia dengan penuh hormat dan sangat hati – hati. Ia terhenyak ketika melihat Rosario hitam yang melilit di leher lelaki itu. Sambil terus memeriksanya, Adelia bertanya padanya.
“ Kamu juga orang Katolik ya ? “
“ Ya, benar. Tapi dari mana kamu tahu ? Apa kamu juga gadis katolik ? “ lelaki itu menimpalinya.
“ Aku tahu karena aku melihat Rosario yang ada di lehermu itu dan aku juga seorang Katolik. Tapi kayaknya kamu orang baru di sini. Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Dari mana kamu datang ? “
Lelaki itu  bangkit dari pembaringannya lalu menjawab Adelia.
“ Ya, kamu benar. Aku orang baru di sini. Baru kemarin aku datang dari kota ke kampung ini demi satu tugas yang sangat penting. Terima kasih karena kamu telah menolongku. “ lelaki itu menyunggingkan senyuman kecil pada Adelia dan Adelia membalasnya.
            Mereka berdua terus berbincang – bincang, saling bertanya dan setidaknya mulai timbul keakraban di antara mereka. Adelia tampak begitu bersemangat dan ceria. Tak disangka, rupanya Adelia telah menyimpan rasa untuk lelaki itu. Namun Adelia terpaksa harus memendam perasaannya itu karena ia belum tahu betul siapa lelaki itu. Perbincangan mereka berdua terpaksa harus disudahi  oleh tangisan seorang gadis kecil berambut ikal yang berusaha menghampiri Adelia. Wajah kecilnya berlinangan air mata. Adelia beralih dan merangkul gadis kecil itu. Dengan jemarinya yang lembut ia meyeka derai air mata yang tak kunjung henti mengalir dari kelopak mata gadis kecil itu. Dengan sentuhannya, tangisan gadis kecil itu mulai mereda. Adelia tersenyum lega melihatnya dan mengecup kening gadis itu. Sementara itu, lelaki tadi masih berdiri tidak jauh dari mereka, menyaksikan adegan penuh haru itu. Melihat kebijaksanaan hati Adelia, lelaki itu berdecak kagum dalam hatinya. Dalam hatinya lelaki itu menghaturkan selaksa pujian. Sungguh mulia hatinya. Kecantikkannya tidak hanya terpancar dalam wajahnya saja tetapi juga terpancar dari kedalaman hatinya yang penuh cinta. Amat beruntunglah lelaki yang bisa merebut hatinya. Lihat saja,  ia amat menyayangi gadis kecil yang malang itu. Adelia...Adelia... aku senang bisa berkenalan dengan gadis secantik dan sebaik kamu.
            Semenjak awal pertemuan Adelia dengan lelaki itu, ternyata secara diam – diam Adelia telah menyimpan perasaan cinta terhadapnya. Adelia selalu gelisah bila mengingat wajahnya. Betapa pertemuan itu membawa daya cinta yang maha sejati bagi Adelia. Karena cintanya akan lelaki itu, di sela – sela kesibukkannya Adelia berusaha mencari tahu tentang lelaki itu. Pencariannya akan lelaki itu akhirnya mendapat titik terang. Ia mendapat informasi yang cukup jelas tentang siapa sebenarnya lelaki yang ia kagumi dan cintai dalam hatinya itu. Dari orang – orang di seputar kampung itu, Adelia tahu bahwa lelaki itu bukanlah seorang awam biasa. lelaki itu ternyata adalah seorang Frater yang sedang menjalankan tugas pastoral di paroki tempat tinggalnya. Mendengar hal ini, tentu Adelia seolah tak percaya. Jantungnya berdegup cepat, tetes keringat mengalir tanpa permisi di wajahnya yang memucat. Sementara ingatannya kembali menghadirkan kisah dimana ia bertemu dengan lelaki itu. Sosok lelaki itu datang silih berganti,
mondar –  mandir mengisi pikirannya. Untuk sejenak Adelia terdiam terpaku. Dalam hatinya ia bergumam. Ahh... ternyata Anima adalah seorang Frater. Tapi mengapa ia tidak memberitahuku kalau ia seorang Frater ? Takutkah ia membeberkan statusnya itu ? Aku merasa berdosa sekali karena baru mengetahui  yang sebenarnya tentang dia. Jujur saja, aku telah merasakan yang namanya jatuh cinta. Tapi kali ini aku betul – betul gila karena aku terlanjur jatuh cinta dengan seorang Frater. Aahhh.......
            Adelia menepis pikirannya jauh – jauh  dan segera kembali ke rumahnya. Keesokkan harinya Adelia berusaha menemui lelaki itu di tempatnya. Dengan rambut yang dibiarkan terurai tak diikat, ia berjalan menyusuri jalanan menuju tujuannya. Tekadnya sudah bulat yakni ingin menemui lelaki itu dan mengutarakan cintanya. Dari kejauhan ia melihat sosok lelaki itu tengah mengenakan jubah putih sedang berdiri di sebuah taman. Adelia pun terus mendekat. Dengan tangan kanannya ia meraih tangan lelaki itu dari belakang sambil mengucap lirih nama lelaki itu.
“ Anima... “
Lelaki itu terhenyak dan segera membalikkan tubuhnya. Amat terkejutlah lelaki itu karena sosok yang berada di hadapannya itu adalah Adelia, seorang perawat cantik yang pernah menolongnya. Dengan sedikit gugup lelaki itu berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Adelia.
“ Ada apa Adelia ? Mengapa kamu datang ke sini ?
Dengan berani Adelia menggenggam kedua tangan lelaki itu lalu dengan mata berkaca – kaca, ia menumpahkan seluruh perasaannya yang selama ini ia pendam.
Anima... mengapa sejak awal kita bertemu, kamu tidak memberitahuku kalau kamu itu seorang Frater ? saat ini di hadapanmu, aku mau jujur padamu. Biarkanlah jubah putih yang kamu kenakan sekarang ini menjadi saksi atas perasaanku ini.
Anima... belakangan ini aku amat gelisah dan tersiksa. Namun kegelisahan dan siksaan yang kurasa itu sungguh indah. Kamu tahu ?
Aku jatuh cinta. Aku jatuh cinta padamu Anima. Sungguh aneh karena kita baru saja bertemu, tetapi luar biasanya karena cinta di ladang hatiku telah bermekaran walau benih baru ditabur. Anima... apakah aku bodoh bila mencintaimu ? apakah aku berdosa bila memilikimu ? Salahkah aku bila jatuh cinta dengan seorang Frater sepertimu ?
Menyebut namamu saja menghadirkan sejuta kemilau di hatiku. Menatap dirimu saat ini adalah satu surga bagi kerinduan jiwaku. Kehadiranmu dalam ingatanku amat menggelisahkan aku. Apakah ini yang disebut cinta ?
Jawab Anima... Jawab...!!!
padahal belum lama aku mengenalmu. Meskipun begitu, aku tak pernah marah sedikit pun dengan waktu yang tak banyak memberiku kesempatan. Sekarang, terserah padamu mau menilaiku apa. Memang benar cinta itu gila dan buta. Saking gilanya, aku tergila – gila denganmu. Saking butanya, aku tak melihat bahwa yang kucintai ini adalah seorang Frater. Mungkin juga kamu akan bilang cintaku ini abnormal. Mencintai seseorang yang mengabdikan diri, hidup dan cintanya hanya untuk Tuhan semata.

Maafkan aku bila aku terlalu polos dan jujur di hadapanmu.
Maafkan aku karena aku terlalu berani mengatakan cinta padamu.
Meski kamu tak menerima cintaku, tolong ijinkan aku untuk terus mencintaimu, Fraterku sayang....

Dengan segera Adelia segera membalikkan tubuhnya dan menumpahkan seluruh perasaannya. Adelia berusaha menepiskan wajahnya dari kerumunan air mata yang membasahi kedua kelopak matanya. Ia berusaha untuk tetap tegar di hadapan Anima yang dicintainya itu. Dan untuk sesaat Adelia membiarkan rinai air matanya gugur dan membasahi hati dan seluruh jiwanya. Semesta pun hening. Bening. Hanyalah dedaunan di taman itu yang terus menjatuhkan diri ke atas bunga – bunga taman dan seluruh penghuni taman itu.
Semesta terhenyak kala Anima meraih tangan Adelia. Menyentuhnya dengan penuh kelembutan. Lalu mengusap pergi kerumunan air mata yang mengepung sepasang mata indah itu dengan jemarinya.
Tanpa sepenggal ucapan pun Anima langsung mendekap Adelia penuh kemesraan. Bersama dengan pelukan erat itu, Anima berbisik lirih ;
“Adelia…jujur saja kalau sudah sejak awal ketika kita bertemu, aku juga merasakan hal serupa sama seperti yang kau rasakan kini.
Adelia…aku sungguh telah terperangkap dalam tatapan nanar matamu yang kecokelatan itu. Aku juga telah terbelenggu oleh derai rambut hitammu yang panjang itu. Bahkan di setiap tatapanku kehilangan arah darimu, aku menjadi gelisah dan tak menentu.
Terima kasih untuk perasaan cintamu yang suci ini… Terima kasih untuk mata cokelatmu yang selalu membuatku merasakan cinta yang kuat dan kokoh dalam setiap tatapanmu…
Terima kasih untuk kebaikan dan ketulusan hatimu yang telah mengajarkan aku untuk selalu bersikap rendah hati…
Terima kasih untuk senyuman yang selalu kau sematkan untukku, dan dengan itu kupercaya bahwa kaulah warna yang hilang dalam lukisan hatiku…
Dan kini…ingin kubingkai semua perasaanku dalam ciuman suci  ini Adelia…”

Anima melepaskan pelukannya lalu mencium kening Adelia penuh cinta.  Ia tersenyum dan kembali mengucapkan sesuatu.
“Maafkan aku Adelia…
Aku tak bisa bersamamu untuk selamanya.
Aku tak bisa untuk terus mencintaimu dengan statusku sebagai Frater...
Kuakui bahwa aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu. Tapi kuingin kau mengerti bahwa cinta itu tak selalu harus memiliki. Adelia, kau dan aku memang dilahirkan untuk saling mencintai. Tapi kita tak pernah ditakdirkan untuk bersama.
Biarlah perasaan sucimu ini kusimpan dalam hatiku.
Sekali lagi aku juga mencintaimu Adelia…
Tapi maafkan aku…”
Anima melepaskan pelukannya. Ia berlari menjauhi sosok cantik yang dicintainya. Sosok penuh kelembutan yang mungkin tak akan pernah dijumpainya lagi setelah saat itu. Sementara Adelia terpaku membisu membiarkan tangisannya mengiringi kepergian Anima.
Di akhir kisah suci ini, Adelia terus berkata lirih ditemani tangisan yang semakin menjadi – jadi ;
“Tapi ijinkan aku ‘tuk terus mencintaimu Fraterku sayang…”
Anima pun berlalu. Adelia bergegas membagi arah. Anima pergi entah kemana.
Sementara di ruang rindu, Adelia terus mencintainya. Tak peduli apapun.***

…_medio januari_...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar